Darimana datangnya cinta?Dari mata turun ke hati
Darimana datangnya rindu?Dari hati menjalar ke pikiran
Ungkapan
di atas sudah menjadi hiasan umum tentang cinta, di kehidupan
sehari-hari. Cinta dan hati selalu dianggap satu entitas tak
terpisahkan, bahkan sebagian dari kita lantang mengatakan, “urusan cinta
persoalan hati, bukan logika! ”Sebuah pengutaraan yang cantik, namun
keliru. Cinta dapat diungkap melalui sains. Secara ilmiah tidak ada “aksi dan reaksi” – (meminjam istilah Hukum Mekanika Newton) – cinta di dalam organ hati.
Semua
proses cinta terjadi di dalam otak menstimulasi kinerja pikiran, hampir
tidak ada sama sekali keterlibatan organ hati di dalamnya. Namun
penulis masih akan menggunakan kata hati yang merujuk referen perasaan,
bukan organ hati.
Mengapa Kita Bisa Jatuh Cinta?
Jatuh cinta pada
umumnya diawali oleh rasa ketertarikan antara dua orang berlainan
jenis. Ketertarikan dipicu oleh senyawa kimia yang bernama feremon.
Feremon (Pheremone) berasal dari bahasa Yunani, yaitu; phero(pembawa) dan mone(sensasi), jadi feremon dapat diartikan secara leksikal dengan pembawa sensasi.
Senyawa
feromon pada manusia dihasilkan oleh kelenjar endoktrin, yang terletak
pada ketiak, wajah – telinga, hidung, mulut – kulit dan kemaluan.
Kelenjar endoktrin dalam menghasilkan feromon akan bekerja efektif apa
bila yang bersangkutan telah cukup umur (baligh).
Sebagian besar ahli, berkesimpulan bahwa feremon yang memiliki sifat volatil(mudah menguap) dari tubuh seorang pria, direspon oleh seorang wanita melalui Vemero Nasal Organ (VNO),
yaitu organ yang paling sensitif pada tubuh manusia, terletak di dalam
lubang hidung. Konon, kepekaannya mencapai ribuan kali lebih besar
daripada indra penciuman.
Dari sana kemudian terjadilah kontak pada kelenjar lain, hipotalamus(mengatur emosi manusia) dan merangsang pembentukan senyawa kimia lainnya; senyawa phenyletilamine(PEA), dopamine, nenopinepherin, endropin, dan oktosin. Ketiga senyawa – phenyletilamine(PEA), dopamine, nenopinepherin – akan memberikan respon tersipu-sipu dan malu ketika berpandangan dengan lawan jenis yang memikat hati.
Menurut
Eibl Eibesfeldt, seorang psikolog terkemuka, biasanya seorang wanita
akan mengangkat alis dan membuka matanya lebar-lebar saat memandang
seorang pria yang memikat hatinya, namun dia akan segera membuang muka
atau menutupi wajah dengan telapak tangannya, lalu tertawa kecil dibalik
telapak tangannya, saat pria itu berbalik memandangnya. Eibl Eibesfeldt
mengatakan, gestureini merupakan sinyal ketertarikan seksual.
Sedangkan senyawa endropin akan menimbulkan perasaan damai, tentram, dan aman. Dan senyawa oktosinberperan
menjadikan rasa cinta itu rukun diantara keduanya. Asumsi sebagian para
ahli di atas memberikan kesimpulan bahwa laki-laki tertarik pada wanita
melalui penampilan fisiknya. Sedangkan wanita melalui senyawa feremon
yang dilepaskan laki-laki. Ini berarti wanitalah yang memilih
pasangannya atas penyeleksian dari senyawa feremon yang dilepaskan itu.
Namun benarkah demikian?
Menurut
penulis ini tidak benar! Teori ini hanya berdasarkan sampel penelitian
dari dunia binatang. Binatang tertentu melepaskan feremon untuk menandai
daerah kekuasaan sekaligus memberikan sinyal ketertarikan kepada lawan
jenisnya. Feremon itu dapat dideteksi dari jarak cukup jauh, sehingga
berfungsi untuk menggantikan peran komunikasi verbal.
Inilah
penyebab sabagian ilmuan, melalui program ambisiusnya, menciptakan
senyawa feremon untuk manusia (para pria), yang akan berfungsi
sebagaimana layaknya minyak peletpenarik lawan jenis.
Tapi
yang musti kita pahami adalah kita tidak bisa menstitutibkan fenomena
kehidupan binatang dengan kehidupan kita sehari-hari. Binatangdan kita
merupakan 2 entitas berbeda. Perbedaan mencolok secara gamblang terletak
pada struktur organ – termasuk otak yang berperan penting dalam
memproduksi kelenjar hormonal – dan pengalaman. Misalkan dalam hal
pembauan. Bau X akan direspon Y oleh anjing, di sisi lain manusia akan
merespon Z. Hal sama juga terjadi dalam respon-tanggap terhadap warna,
rasa dan lain-lain. Perbedaan itu disebabkan bedanya struktur organ –
terutama otak – dan pengalaman. Oleh karena itu kita tidak dapat
melakukan penukaran yang valid pada tantanan ilmu ilmiah.
Menurut
penulis, setiap masing-masing, baik laki-laki maupun wanita, sama-sama
mengeluarkan senyawa feromon, dan direspon oleh masing-masingi ndividu.
Artinya senyawa feremon yang dihasilkan oleh laki-laki tidak direspon
oleh wanita, begitupun sebaliknya, melainkan direspon dengan dirinya
sendiri.
Lantas Apa yang Menstimulusi Produksi Senyawa Feromon oleh Kelenjar Endrokrin?
Jawabannya
adalah ransangan otak atas impresi pengalaman yang dibentuk.
Sebagaimana menurut Richard Dawkins, seorang profesor biologi molekuler,
dari universitas Oxford, dalam bukunya berjudul The Selfish Gene (
1978 ), bahwa mem* (*analog budaya dari gen yang bersifat biolog) akan
berpengaruh pada konfigurasi saraf di otak manusia, dimana mem
dipengaruhi impresi dogmatik sosio kultur.
Sigmund Freud, bapak Psikoanalisa, melalui teori Seksual Infantil dalam sebuah buku berjudul The Three Contributions of The Theory of Sex(1900),
menjelaskan manusia berkembang secara seksual, melalui pencarian
objek-objek berbeda untuk dicintai. Awalnya seorang bayi hanya mencintai
dirinya sendiri dan menemukan kenikmatan lewat tubuhnya.
Freud menyebutnya sebagai tahap self-love.
Kemudian sekitar usia empat atau lima tahun hasrat seksual beralih
menjadi laten. Dimana seorang anak mulai mencintai anggota kelompoknya,
anak laki-laki akan mencintai gengnya, begitu pula anak perempuan akan
mencintai teman sepermainannya. Beberapa saat berlalu, kemudian
datanglah masa remaja.
Anak
laki-laki remaja akan mulai menganggap teman sepermainannya kurang
penting, dan sebalinya ia akan tertarik pada anak perempuan remaja
secara umum. Sama halnya dengan anak remaja perempuan yang semakin
renggang dengan teman-temannya, kian tertarik dengan anak remaja
laki-laki pada umumnya. Dan tibalah tibalah tahap akhir yang disebut
fase kematangan seksual, dari mencintai wanita secara umum, seorang
priaberalih mencintai seorang gadis, begitu pun sebaliknya. Semua ini
merupakan object-finding, tahap normal dalam perkembangan seksual.
Freud
mengatakan seorang individu mungkin saja terbelenggu atau terfiksasi
dalam tahap perkembangan tertentu, karena sebuah pengalaman yang begitu
intensif dan kuat. Seorang yang terjebak dalam sebuah frase (terfiksasi)
tidak bisa beranjak ke fase berikutnya. Orang tersebut akan terus
tumbuh dewasa , tapi secara emosional ia akan tetap tertahan pada fase
tertentu yang disebut oedipal. Implikasinya seorang anak yang terjebak dalam fase self-love,akan
terus mencintai dirinya sendiri secara berlebihan, tanpa perduli kepada
orang lain dan lingkungan sekitarnya. Orang yang terjebak dalam fase
mencintai anggota kelompok dari jenis kelamin sama, akan gagal
mengembangkan ketertarikan pada lawan jenis, dan menyebabkan
homoseksual– baik pria maupun wanita. Dan orang yang terjabak dalam fase
mencintai lawan jenis secara umum akan menjadi seorang playboy atau playgirl(manusia peselingkuh).
Di
samping itu pengaruh lain seperti tayangan iklan, film di televisi,
dogmatis orang tua, agama, atau orang-orang terdekat sekitar, serta
pengalaman pahit individu, juga memainkan peran penting dalam hal
ketertarikan seksual (orientasi seksual). Strandardisasi pria atau
wanita yang dinginkan – ganteng, cantik, berperilaku baik, mapan secara
finansial, taat secara keagamaan, populer, dan sebagainya – akan
berpengaruh besar memicu produktifitas feromon oleh kelenjar endoktrin.
Dua
tahun lalu terdapat berita mengejutkan dari Majalah Psychology Today
edisi Juli-Agustus 2007, melaporkan hasil temuan Simon Chu yang dimuat
dalam jurnal Personality and Individual Differences, bahwa pada umumnya
wanita tidak begitu tertarik memilih pria tampan dan kaya sebagai
pasangan hidup (suami). Menurut Chu, mereka (para wanita pada umumnya)
merasa ragu-ragu dengan pria sempurna karena pria semacam itu diinginkan
banyak wanita lain, sehingga memperbesar kemungkinan pasangannya
selingkuh. Hal ini disebabkan juga impresi pengalaman sehari-hari yang
mereka alami dari mendengar atau melihat dari pengalaman orang lain.
Bentuk impresi standardisasi konteks dari perfilman dan periklanan akan
tetap membuat para wanita pada umumnya menempatkan kedua indikator
tersebut sebagai kriteria terpenting mereka, apabila disuruh
membayangkan tipikal suami impian mereka. Dari sini kita mendapati bahwa
sangat tidak logis kisah cinta antara Adam dan Hawa, melainkan hanya
mitos cinta abrakadavra (kun fayakun) semata.
Tidak
memiliki konstribusi yang berarti dalam sains selain hanya bentuk
dogmatis pelecehan kaum perempuan semata. Penjelasan ilmiah yang dapat
diterima sejauh ini adalah bersumber dari peneliti Harvard dan MIT di
tahun 2003, tentang gen monyet dan manusia berasal dari nenek moyang
yang sama, yang hidup di bumi sekitar 18 juta tahun lalu. Siamang yang
pertama memisahkan diri sekitar 16 juta tahun yang lalu. Orang utan
sekitar 12 juta tahun yang lalu. Simpanse dan manusia merupakan paling
akhir sekitar 9 juta tahun yang lalu. Pakar genetika tersebut menemukan
bahwa gen manusia dan simpanse hanya berbeda 1,5% (sekitar 500 gen
saja). Itu berarti banyak protein struktural, termasuk protein
hemoglobin dari Cytochome c, identik baik simpanse maupun manusia. Darah manusia dan simpanse sama persis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar